Ayahku seorang pelaut
Tuesday, January 15, 2008
Sambil menyeruput milo susu coklat, sy gerakkan langkah jari untuk menelusuri blog beberapa rekan AM. Jam 8-9 pagi yg sudah menjadi rutinitas sy. Sebenarnya hampir tiap hari sy ke rumah ini, tapi entah kenapa, baru kali ini sy temui tulisan ini. Tulisan tentang ekspresi hatinya sebagai seorang Ayah. Hati sy basah, bukan karena susu coklat yg sy teguk, melainkan tiap baris katanya telah merambat sejuk ke relung2 hati sy. Ah, apa kabar Abahku tersayang di belahan samudera sana?
Sejak kecil, profesi Abah adalah seorang pelaut. Meski lulus dari sekolah bukan dgn jurusan pelayaran atau sejenisnya, panggilan angin laut tak bisa menahan jiwa berlayarnya. Ijazah formalnya tak berkutik ketika melihat layar kapal berkibar mengikuti arah angin. 3, 6 bulan bahkan 1 tahun mengarungi laut tanpa henti sudah menjadi nafas hidupnya.
Abah bercerita, sewaktu kecil, jika Beliau pulang, maka sy sudah sangat siap menunggu di depan pintu, sangat siap melebihi Umi. Sambil bertepuk2 tangan, sy bernyanyi “Bapak pulang..bapak pulang..”, disambut “Hppphh..”, beliau akan menggendong sy ke pundaknya untuk diciumnya, kemudian menurunkan di dekat tas. Dan dengan semangat 45, sy akan mengobrak-abrik tas beliau, rasa ingin tahu sy menyala2, ada apa gerangan yg dibawa oleh manusia laut dari petualangannya berbulan-bulan.
Jika ada yg menanyakan seorang Abah sy, setelah sedikit bercakap2, biasanya diakhiri “wah, tahan yah, ditinggal terus..!“. Dengan lapang sy menjawab, “Yah, harus tahan..”. Cermin sy adalah Umi. Bukan single parent, tapi kerjanya melulu single, bersama adik-adik, tak jarang kami menjadi suami Umi. Betapa banyak pekerjaan yg sejatinya dilakoni oleh seorang lelaki, kami yg mengawali. Bahkan seingat sy, di kehamilan adik sy yg paling bungsu, Umi dengan perut 7 bulan, mampu memaku dan menggergaji kayu. Pff, kalau diingat2 rasanya menyesal sekali, kenapa dulu tak memanggil pemuda dekat rumah untuk membantunya memperbaiki pintu yg rusak. Kegigihan perempuan, yg membuat langkah-langkah sy tegas dalam tiap kondisi. Secara tak sadar, bersama adik-adik, kami menjadi ajudan-ajudan yg siap mengawali, menggertak, melawan kepada siapapun yg mampu menggores hati seorang umi kami.
Abah memang tak di samping kami. Tapi beliau mengajarkan banyak hal. Bahwa segala sesuatu selalu diawali dengan memilih. Dalam tiap kondisi, kami selalu diserahi pilihan. Tak pernah ada yg buntu dalam hidup ini. Karena Rabb tak pernah jemu sebelum kita lebih dulu merasa jemu. Dalam keburukan sekalipun, manusia tetap harus bisa memilih. Kami selalu diajarkan untuk pantang dilecehkan oleh ulah kebodohan kami sendiri. Sikap tegas, yg memaksa kami untuk berpikir keras demi kebaikan kami sendiri.
“Mau sekolah atau tidak?, kalo mau sekolah, maka belajar!, jangan main-main!. Kalo tidak mau sekolah, bilang saja, tak apa2..Abah tak melarang, toh yg punya masa depan bukan Abah..!”.
Namun tak jarang, matanya sembab melihat kegaduhan kami. Tindakan konyol kami yg menarik tetes air matanya keluar, seketika manusia keras di hadap sy menjadi manusia lembut yg juga menagih kelembutan dari hati kami. Menundukkan kekerasan dengan kelembutan jauh lebih ampuh. Mungkin, seperti itu yg diajarkannya kepada kami.
Dan sekarang, perjalanan sy yg hampir 24 tahun-pun masih diiringi dengan bau-bau laut badan Abah. Rambutnya sudah banyak memutih, kulit wajahnya-pun mulai ber-bercak coklat. Pundak tempatku duduk ketika kecil dulu kini makin hitam legam mengkilat. Beliau bertambah tua. Tapi semangat melautnya tak pernah henti. Bulan lalu, sambil menenteng tasnya, kembali Beliau berpesan pada sy dan adik-adik, “Jaga diri dan Umi-mu, nak!“.
Kepercayaan yang tak pernah usang, bahwa kami selalu mampu menjaga diri dan Umi kami dengan baik.
Sejak kecil, profesi Abah adalah seorang pelaut. Meski lulus dari sekolah bukan dgn jurusan pelayaran atau sejenisnya, panggilan angin laut tak bisa menahan jiwa berlayarnya. Ijazah formalnya tak berkutik ketika melihat layar kapal berkibar mengikuti arah angin. 3, 6 bulan bahkan 1 tahun mengarungi laut tanpa henti sudah menjadi nafas hidupnya.
Abah bercerita, sewaktu kecil, jika Beliau pulang, maka sy sudah sangat siap menunggu di depan pintu, sangat siap melebihi Umi. Sambil bertepuk2 tangan, sy bernyanyi “Bapak pulang..bapak pulang..”, disambut “Hppphh..”, beliau akan menggendong sy ke pundaknya untuk diciumnya, kemudian menurunkan di dekat tas. Dan dengan semangat 45, sy akan mengobrak-abrik tas beliau, rasa ingin tahu sy menyala2, ada apa gerangan yg dibawa oleh manusia laut dari petualangannya berbulan-bulan.
Jika ada yg menanyakan seorang Abah sy, setelah sedikit bercakap2, biasanya diakhiri “wah, tahan yah, ditinggal terus..!“. Dengan lapang sy menjawab, “Yah, harus tahan..”. Cermin sy adalah Umi. Bukan single parent, tapi kerjanya melulu single, bersama adik-adik, tak jarang kami menjadi suami Umi. Betapa banyak pekerjaan yg sejatinya dilakoni oleh seorang lelaki, kami yg mengawali. Bahkan seingat sy, di kehamilan adik sy yg paling bungsu, Umi dengan perut 7 bulan, mampu memaku dan menggergaji kayu. Pff, kalau diingat2 rasanya menyesal sekali, kenapa dulu tak memanggil pemuda dekat rumah untuk membantunya memperbaiki pintu yg rusak. Kegigihan perempuan, yg membuat langkah-langkah sy tegas dalam tiap kondisi. Secara tak sadar, bersama adik-adik, kami menjadi ajudan-ajudan yg siap mengawali, menggertak, melawan kepada siapapun yg mampu menggores hati seorang umi kami.
Abah memang tak di samping kami. Tapi beliau mengajarkan banyak hal. Bahwa segala sesuatu selalu diawali dengan memilih. Dalam tiap kondisi, kami selalu diserahi pilihan. Tak pernah ada yg buntu dalam hidup ini. Karena Rabb tak pernah jemu sebelum kita lebih dulu merasa jemu. Dalam keburukan sekalipun, manusia tetap harus bisa memilih. Kami selalu diajarkan untuk pantang dilecehkan oleh ulah kebodohan kami sendiri. Sikap tegas, yg memaksa kami untuk berpikir keras demi kebaikan kami sendiri.
“Mau sekolah atau tidak?, kalo mau sekolah, maka belajar!, jangan main-main!. Kalo tidak mau sekolah, bilang saja, tak apa2..Abah tak melarang, toh yg punya masa depan bukan Abah..!”.
Namun tak jarang, matanya sembab melihat kegaduhan kami. Tindakan konyol kami yg menarik tetes air matanya keluar, seketika manusia keras di hadap sy menjadi manusia lembut yg juga menagih kelembutan dari hati kami. Menundukkan kekerasan dengan kelembutan jauh lebih ampuh. Mungkin, seperti itu yg diajarkannya kepada kami.
Dan sekarang, perjalanan sy yg hampir 24 tahun-pun masih diiringi dengan bau-bau laut badan Abah. Rambutnya sudah banyak memutih, kulit wajahnya-pun mulai ber-bercak coklat. Pundak tempatku duduk ketika kecil dulu kini makin hitam legam mengkilat. Beliau bertambah tua. Tapi semangat melautnya tak pernah henti. Bulan lalu, sambil menenteng tasnya, kembali Beliau berpesan pada sy dan adik-adik, “Jaga diri dan Umi-mu, nak!“.
Kepercayaan yang tak pernah usang, bahwa kami selalu mampu menjaga diri dan Umi kami dengan baik.
posted by deen @ 3:22 PM,
1 Comments:
- At Tue Jan 15, 11:25:00 PM, | A | d | i | N | k | said...
-
Great Father with a great daughter..
But Umi above all :)